31 Juli, 2009

Pertanggungjawaban Pidana bagi Pelaku Tambang Ilegal




Untuk dapat dihukum, pelaku tindak pidana harus memenuhi seluruh elemen unsur Pasal yang disangkakan terhadap dirinya.

Bahwa salah satu unsur pokok yang harus dipenuhi dalam Pasal 158 UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara adalah unsur “Melakukan usaha penambangan”


Sayang sekali Undang-undang tidak memberikan penjelasan yang cukup tentang pengertian "Usaha" Penambangan, Oleh karena itu untuk mendapatkan pemahaman yang tepat kita harus mencari referensi kata tersebut.


Yang dimaksud dengan “Usaha” adalah : kegiatan dengan mengerahkan tenaga, pikiran atau badan untuk mencapai maksud (vide Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, Pusat Bahasa DEPDIKNAS, Balai Pustaka 2002)


Selanjutnya yang dimaksud dengan “Mengerahkan” adalah : Mengumpulkan atau menghimpun orang secara bersama-sama untuk mengerjakan sesuatu (vide Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, Pusat Bahasa DEPDIKNAS, Balai Pustaka 2002)

Sehingga secara jelas didalam elemen unsur Pasal tersebut memerlukan suatu syarat yang harus dipenuhi yaitu setidaknya ada dua orang atau lebih yakni ada orang yang mengerahkan dan ada orang yang dikerahkan.


Dengan demikian syarat mutlak yang harus dipenuhi untuk seseorang dapat dihukum dengan Pasal 158 tersebut adalah bahwa “Pelaku haruslah sebagai orang yang mengerahkan atau mengumpulkan atau menghimpun” Selengkapnya...

11 Juli, 2009

Terdakwa dapat di hukum melebihi batas ancaman

Trend perkembangan ketentuan pidana dalam undang-undang pada akhir dekade ini cenderung menggunakan “pembatasan minimal” disamping batas maksimal yang telah ada. Hal tersebut terjadi kemungkinan penjatuhan pidana terhadap pelaku kejahatan selama dekade sebelumnya dianggap belum memenuhi rasa keadilan karena terlalu ringan, oleh karena itu lalu muncullah penggunaan pembatasan minimal.

Kita ambil contoh pelanggaran terhadap Pasal 59 ayat (1) UU Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, diancam dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) Tahun, paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 150 juta dan paling banyak Rp. 750 juta”

Dengan batasan mimimal tersebut memang penegak hukum tidak bisa semena-mena menuntut dan menjatuhkan pidana dibawah batas minimum yang telah ditentukan dalam undang-undang tersebut.

Namun disisi lain hal tersebut akan menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda bagi penegak hukum dilapangan atau setidaknya menjadikan bahan pemikiran dalam hati tersendiri mengenai bagaimana jika ketentuan pidana yang ada “pembatasan minimal” diterapkan terhadap terdakwa yang masih anak-anak ?. Mengingat dalam Undang-undang Peradilan anak bahwasannya maksimun hukuman pidana yang dijatuhkan terhadap anak adalah ½ (setengah) dari ancaman orang dewasa

Pertanyaan yang paling mendasar adalah bagaimana terhadap pelakunya yang tergolong “anak”, apakah dengan dikuranginya ½ dari ancaman maksimum tersebut maka ancaman pidana minimumnya otomatis juga di kurangi menjadi ½ (setengahnya), Dan karena undang-undang tidak memberi penjelasan yang cukup terhadap masalah tersebut sehingga seperti contoh pelanggaran Pasal 59 tersebut harus dibaca :
1. pidana penjara paling singkat 2 (dua) Tahun, paling lama 7 (Tujuh) tahun dan 6 (enam) bulan dan denda paling sedikit Rp. 75 juta dan paling banyak Rp.3 75 juta”

“ATAU”
2. pidana penjara paling singkat 4 (empat) Tahun, paling lama 7 (Tujuh) tahun dan 6 (enam) bulan dan denda paling sedikit Rp. 150 juta dan paling banyak Rp. 750 juta”

Nah kenyataan yang terjadi dalam praktek lapangan para penegak hukum mengacu pendapat seperti terbaca pada point 2 diatas. Namun bagi kami hal tersebut tidaklah tepat dengan dasar pemikiran yang sangat sederhana sekali yaitu antara ancaman minimun dan ancaman maksimum,saya ibaratkan sebatang pipa besi panjang tetap 4 meter maka jika tingginya (maksimum) diturunkan setengah maka sudah barang tentu bawahnya (minimum) akan secara otomatis turun setengah pula sehingga pipa besi tersebut tetap mempunyai media panjang 4 meter. Dengan kata lain saya sependapat dengan pendapat pada point 1 diatas dimana terdakwa anak-anak dapat di hukum melebihi minimum ancaman dari minimum 4 tahun menjadi minimum 2 tahun sehingga akan tercipta rasa keadilan

.Apabila dalam praktek terus dipertahankan menggunakan pendapat pada point 2 diatas maka kurang memberi rasa keadilan, dengan ilustrasi andai pelaku dewasa dijatuhi pidana 4 tahun dan 6 bulan dan anak-anak juga dijatuhi pidana minimal saja yakni 4 tahun maka terciptakah rasa keadilan ??????

Dengan pembahasan sederhana ini kami berharap ada tanggapan dari ahli hukum dan kedepan adanya petunjuk yang jelas dari yang berwenang.



Selengkapnya...

04 Juli, 2009

Tanpa Barang Bukti disidang bisa di Hukum

Pelaku pidana dihukum walaupun tanpa barang bukti.

Apabila kita mencermati ketentuan yang tersurat dalam Pasal 53 ayat (2) huruf b Undang Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang PSIKOTROPIKA dimana pemusnahan psikotropika khusus Golongan I dalam hal berhubungan dengan tindak pidana wajib dilaksanakan paling lambat 7 (tujuh) hari setelah dilakukan penyitaan. Lalu sejauh mana pelaksanaan dilapangan selama ini terhadap ketentuan Pasal 53 ayat (2) huruf b tersebut oleh penegak hukum??? Kalau benar-benar dilaksanakan sesuai ketentuan lalu bagaimana dengan kepentingan pembuktian di persidangan??dan bagaimana pula sanksi atau akibat hukumnya bila ketentuan tersebut tidak dilaksanakan sebagaimana perintah undang-undang???
Perintah undang-undang yang mewajibkan Penyidik untuk memusnahkan barang bukti sitaan berupa psikotropika Golongan I paling lambat dalam waktu 7 hari memang cukup beralasan, karena dikwatirkan apabila tidak segera dimusnahkan akan menimbulkan penyalahgunaan barang sitaan tersebut yang akhirnya dapat merugikan kehidupan pribadi, keluarga, bangsa sehingga pada gilirannya dapat mengancam ketahanan nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pemusnahan tersebut efektif dan efisien jika asumsi tangkapannya/penyitaannya dalam jumlah yang besar, namun sebaliknya jika penyidik hanya 1 atau 2 butir yang berhasil disita dari pelaku tindak pidana dengan asumsi 5 hari sekali menyita seperti yang terjadi didaerah-daerah maka saya rasa tidak akan efektif dan tidak efisien baik dari sisi waktu, tenaga, dan beaya, oleh karena bukannya setiap pemusnahan barang bukti psikotropika harus dihadiri oleh pejabat terkait yang berwenang??????????

Disamping itu disisi lain pemusnahan barang bukti dalam waktu 7 hari setelah penyitaan tersebut akan menyulitkan aparat penegak hukum khususnya Jaksa sebagai Penuntut Umum yang berkewajiban untuk membuktikan kesalahan pelaku tindak pidana.
Barang bukti sangat besar maknanya dipersidangan, oleh karena itu sedapat mungkin bisa ditunjukkan didepan persidangan baik kepada saksi-saksi dan atau terdakwa sehingga hal tersebut dapat membentuk suatu keyakinan Hakim yang akan memutus perkara yang diperiksanya.

Yach pengamatan selama ini dilapangan yang terjadi bahwa belum sepenuhnya aparat penegak hukum melaksanakan ketentuan Pasal 53 ayat (2) huruf b tersebut.Walaupun demikian undang-undang tidak ada mengatur sanksi bila ketentuan tersebut dilanggarnya atau tidak dilaksanakannya. Dan kalau benar-benar dijalankan perintah undang-undang tersebut maka trend kedepan akan banyak pelaku tindak pidana yang dituntut oleh Jaksa dan dijatuhi hukuman oleh Hakim walaupun adanya barang bukti psikotropika golongan I.

Selengkapnya...

21 Juni, 2009

Penerapan Pidana Denda bagi anak

2. Penerapan Pidana Denda terhadap anak-anak tidak tepat

Setelah kita mengetahui bahwa ancaman hukuman terhadap pelaku enyalahgunaan psikotropika seperti yang telah saya uraikan pada point 1 maka sekarang akan saya sampaikan suatu ilustrasi kasus : “Pada suatu hari si Fulan yang baru berusia 15 tahun membeli 1 butir pil ekstasy dari temannya kemudian oleh si Fulan ½ diminum dan sisanya disimpan lalu tidak lama si Fulan tertangkap dan ternyata pil tersebut termasuk psikotropika golongan I sehingga harus mempertanggungjawabkan perbuatannya”
Dari ilustrasi kasus tersebut si Fulan akhirnya diajukan ke Pengadilan dengan penerapan Pasal melanggar ketentuan Pasal 59 ayat (1) huruf a UU No 5 tahun 1997 tentang Psikotropika yang notabene memiliki ancaman hukuman kumulatif yaitu pidana penjara paling singkat 4 tahun paling lama 15 tahun “DAN” pidana denda paling sedikit 150 juta dan paling banyak 750 juta.

Permasalahan muncul manakala kasus tersebut dipandang dari sudut yang berbeda yaitu pertama dari sudut pandang golongan nurani/rasa keadilan/logika yang berpendapat kira-kira secara umum seorang anak belum mempunyai penghasilan lalu dengan apa ia harus membayar, sehingga sudah barang tentu anak tersebut tidak akan mungkin bisa membayar pidana denda , dengan demikian dirasa sangat berlebihan penerapan pidana denda terhadap anak-anak.
Berbeda dari cara pandang penegak hukum yang berpendapat kira-kira secara umum bahwa aparat penegak hukum bertugas menegakkan hukum/ Undang-Undang jadi apa yang tersurat dalam Undang=undang wajib dilaksanakan sebab kalau tidak berarti aparat penegak hukum menyalahi hukum. Nah kalau sudah demikian bagaimana yaw???????
Kalau boleh berpendapat sebaiknya pihak yang berwenang segera merevisi UU tersebut dengan menambah Pasal khusus bagi anak tidak perlu dibebani dengan pidana denda…….wah dengan begitu rasanya memenuhi rasa keadilan……… Selengkapnya...

Antara Penjara dan Denda

Permasalahan yang muncul dalam Penerapan Undang-Undang No 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika

1. Penerapan pidana

Perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana secara tegas telah diatur dalam Bab XIV Pasal 59 hingga Pasal 72 Undang-Undang Psikotropika . Didalam Pasal demi pasal telah dengan jelas tersurat ancaman pidananya yaitu berupa pidana badan dan pidana denda yang tinggi rendahnya sangat variatif. Antara Pidana penjara dengan pidana denda selalu dihubungan dengan kata :

a. “DAN” seperti yang tercantum dalam ketentuan Pasal 59 ayat (1)……..dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 tahun, paling lama 15 tahun “DAN” pidana denda paling sedikit Rp.150 juta dan paling banyak 750 juta. Ketentuan yang demikian mengandung makna yang tegas bahwa para penegak hukum baik Jaksa Penuntut Umum dan Hakim mau tidak mau, suka tidak suka wajib menuntut dan menjatuhkan putusan terhadap pelaku dua pidana sekaligus. Dengan kata lain pelaku tindak pidana/terpidana wajib menjalani hukuman badan “DAN” wajib membayar hukuman denda. Wah…wah…wah….berat sekali yaw…..
Mencermati kondisi dalam praktek boleh dipastikan para terpidana tidak sanggup alias tidak mampu untuk membayar pidana denda yang jumlahnya berpuluh-puluh juta rupiah itu .

Lalu bagaimana kalau tidak sanggup membayar denda?

Karena dalam UU Psikotropika tidak diatur tentang hal tersebut maka dipergunakan ketentuan Pasal 30 yang intinya bahwa jika denda tidak dibayar maka diganti dengan kurungan dan lamanya hukuman kurungan pengganti tersebut paling singkat 1 hari dan paling lama 6 bulan. Wah….wah….wah …..ringan sekali yaw…….
Sekarang kita asumsikan untuk denda yang paling rendah sebesar Rp. 150 juta disejajarkan dengan hukuman pengganti yang paling lama 6 bulan maka akan diperoleh angka matematis berarti perbulannya Rp. 25 juta alias perharinya -+Rp. 800.000,- Dengan asumsi demikian maka sangat jauh jika dibandingkan dengan UMK/UMR dinegeri ini. Oleh karena itu menjadi renungan kita bersama apakah terpidana “tidak mau atau tidak mampu” membayar denda tersebut. Tentu ini menjadi hak mutlak dari terpidana, namun yang saya ketahui selama ini dalam praktek lapangan boleh dikatakan tidak ada yang membayar denda dan rata-rata lebih memilih (kalau tidak mau dikatakan terpaksa) menjalani hukuman pengganti kurungan dengan asumsi kalau diluar penjarapun tidak akan bisa mendapatkan penghasilan sebesar itu.
.

b. “DAN/ATAU” seperti yang tercantum dalam ketentuan Pasal 65………….dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun “DAN/ATAU” pidana denda paling banyak 20 juta.

Ketentuan yang demikian mengandung makna yang ragu-ragu, tidak tegas karena bisa berarti “harus dua-duanya” (pidana badan dengan pidana denda) tetapi juga bisa berarti “dapat memilih salah satu” (bila denda sudah dibayar maka pidana penjara tak perlu dijalani begitu juga sebaliknya). Hal yang demikian itu tentu saja dalam praktek dapat menimbulkan perbedaan penafsiran. Menjawab keragu-raguan dan ketidak tegasan ketentuan Undang-undang tersebut pihak aparat penegak hukum khususnya Jaksa Penuntut Umum dan Hakim selama ini cenderung memilih alternatif pertama yaitu “harus dua-duanya”. Hal tersebut tidak menyalahi Undang-undang dan justru menunjukkan keseriusan dalam menegakkan hukum namun sebaliknya apabila dilihat dari kaca mata pencari keadilan, apakah tidak mengurangi haknya apabila dia mampu membayar tetapi tidak berkenan memilih membayar denda saja tanpa menjalani pidana ?????
Weleh……weleh….weleh…..jelimet banget Selengkapnya...